KISAH INI, TIDAK TERASA SUDAH LIMA BELAS TAHUN AKU TINGGAL DI PULAU JULO, FILIPINA SELATAN. LIMA BELAS TAHUN LALU, AKU BERANGKAT DARI YOGYAKARTA KE NEGERI QORAZON INI UNTUKMENJADI SYUHADA MELAWAN KEKEJAMAN TENTARA FILIPINA TERHADAP MINORITAS MUSLIM DI NEGERI INI. SEBAGAI ANAK PESANTREN YANG DIBESARKAN DALAM KELUARGA ISLAM YANG YANG FANATIK AGAMA, AKU TERPANGGIL UNTUK BERANGKAT BERTARUH NYAWA MELAWAN KEJAHATAN TERHADAP PEMELUK ISLAM. AKU MENYEBRANG KE FILIPINA SELATAN TANPA PASPOR MELALUI SANGIHE TALAUD, PULAU PULAU KECIL WILAYAH PROVINSI SULAWESI UTARA. AKU MENJADI PENDUDUK GELAP YANG DATANG MENYEBRANG BERSAMA NELAYAN SANGIR. SETELAH DIDIDIK MENGGUNAKAN SENJATA F 16 MILIK MUSLIM MORO, AKUPUN TURUN KE HUTAN BERGRILYA BERPERANG MELAWAN TENTARA MANILA. DUA KAKIKU TERTEMBAK MUSUH DAN AKU MENJADI LUMPUH TOTAL, LALU MENGGUNAKAN DUA KAKI PALSU DARI PLASTIK DAN HIDUP TENANG DI PULAU JULO.
Ferdian Makahanaf, seorang bos nelayan membantu menyebrangkan aku setelah melewati polisi keamanan laut Filipina, tanggal 21 maret 1996 dengan kapal nelayan miliknya. Walau agama kami berbeda, Ferdian Kristen dan aku Islam, tapi kami menjadi besahabat baik dan nyari seperti keluarga sendiri. Tiga puluh hari aku menginap dirumah keluarga Ferdian di Karungo. Kakek Ferdian, Hojo Makahanaf, ternyata seorang pemilik ilmu terbang. Ilmu terbang yang bernama Suwangi itu dipertunjukan padaku dan aku sangat mengaguminya. Beliau yang sudah renta, berumur 89 tahun berjanji mengajari aku ilmu terbang. Tapi karena pelajaran itu memakan waktu lama, maka sebelum mahir, aku sudah keburu berlayar ke Pulau Mindanau, tempat minoritas muslim di Filipina Selatan. Belakangan, Pulau Mindanau sudah menjadi tenang dari pertempuran anatara tentara negara melawan Islam Moro. Sudah terjadi political will yang baik dari pemerintah dan ada kecenderungan bersahabat demi ketentraman negeri yang lebih baik. Rencana menjadikan negara muslim Moro pun sementara terhenti dan perdamaian nampaknya akan segera terwujud. Moro akan tetap menjadi bagian negara Filipina dan pemeluk agama Islam pun akan terlindungi oleh mayoritas non muslim negeri ini.
Terlepas dari masalah agama dan politik, aku tergerak untuk menjadi syuhada di Filipina Selatan karena minoritas muslim dianiyaya yang mayoritas di negeri ini. Pikirku, mengapa selalu saja minoritas muslim yang diperlakukan tidak adil bahkan diperangi bila hidup ditengah mayoritas non muslim. Sementara di manapun di negara yang mayoritas muslim malah selalu terlindungi. Masalag inilah yang menggugah aku untuk berangkat meninggalkan kampungku di Ngasem, sebelah Kerato Yogyakarta untuk merantau demi membantu saudara muslim di Moro. Walau hanya sepotong badan ringkuhku, pikirku, cukuplah aku untuk menambah jumlah tentara muslim gerilyawan melawan kekejaman tentara Filipina di daerah selatan. Kupersiapkan sepotong nyawaku untuk agamaku, yang aku yakini bahwa aku telah mendapatkan wangsit dari Tuhan untuk hal tersebut.
Saat aku mendarat di bandara Sam Ratulangi Manado, aku langsung naik taksi menuju pelabuhan Pulau Palor untuk mencari kapa. Kapal motor Jayawijaya Ocean yang siap berangkat malam itu, masih bisa kunaiki walau sudah penuh sesak. Di dalam kapal aku berkenalan dengan seorang lelaki berpenampilan sederhana memakai topi laken dan jaket kulit hijau. Lelaki itu memperkenalkan diri bernama Ferdian dan bermarga Makahanaf. Ferdian bertanya tentang tujuanku datang ke Pulau Sangihe dan menuju kota Sangir Talaud. Karena dididik harus jujur oleh orang tuak, maka aku terpaksa mengatakan tujuanku sesungguhnya kepada Ferdian Makahanaf. Ferdian ternyata sangat tertarik memdengar maksud dan tujuanku ke Filipina Selatan untuk ikut berperang bahu membahu bersama muslim Moro melawan kebiadaban tentara Filipina yang kejam.
Bahkan sungguh di luar dugaanku, Ferdian yang beragama Kristen sangat tertarik bahkan mendukungku untuk missi yang nyaris imposible itu. Dengan keikhlasan hatinya Ferdian mengakak aku untuk menginap dirumahnya beberapa waktu sebelum ada kapal nelayan yang mendekati wilayah perairan Filipina. Kebetulan sekali bahkan aku sangat bersyukur karena berkenalan dengan orang yang sangat begitu tepat dan sangat baik. Kukatakan tepat karena Feridan ternyata bos kapal nelayan yang mempunyai puluhan perahu penangkap ikan. Malah empat di antaranya kapal pukat harimau. " Anda bisa menginap dirumah saya beberapa waktu sebelum ada kapal nelayan yang mencari ikan di daerah perbatasan Mindanau! " desis Ferdian kepadaku.
Selama dirumah Ferdian, aku membantu apa saja yang bisa aku bantu. Walau belum ada pengalaman, aku ikut menambal kapal - kapal yang bocor berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh para anak buah Ferdian. Anak - anak Ferdian pun sangat lengket padaku karena mereka sangat menyenangka. Timothi, anak tertua Ferdian yang berumur 18 tahun yang ointar bermain gitar, mengikuti menyanyikan lagu - lagu islamis. Aku menyanyikam lagu - lagu Trio Bimbo yang agamis dan lagu - lagu sufistik dari Timur Tengah. Memang ketika di Ngasem Yogyakarta aku pernah menjadi juara lomba baca Al Qur'an dan qasidah berzanji. Timothi sangat senang mengiringi aku menyanyi karena menurutnya suaraku sangatlah merdu.
Setelah sebulan aku tinggal di rumah Ferdian, aku berangkat bersama nelayan anak buahnya ke Mindanau. Langit sangat cerah sementara bintang - bintang bergemerlapan mengiringi kepergianku. Aku mencucurkan airmata dan Ferdian pun dengan wajah sangat gundah saat akan berpisah denganku. Begitu pula dengan Timothi dan dua adiknya, Marisa dan Magdalena. Mereka semua termasuk ibu Ferdian mengantarkan aku ke dermaga dan kami semua bersedih. Aku benar benar berhutang budi kepada keluarga ini dan aku tak akan melupakan budi baik mereka. yang semuanya melambaikan tangan kepadaku. Batinku terguncang ketika kapal perlahan meninggalkan mereka yang semuanya melambaikan tangan kepadaku. Rasanya mereka sudah seperti keluargaku sendiri dan aku berjanji akan kembali kepada keluarga itu bila Allah masih memperkenankan aku untuk hidup.
Memang tekadku pergi meninggalkan ibu dan ayahku di Yogyakarta adalah untuk mati. Kata sahabatku, Ali Imran, yang sudah terlebih dahulu berperang di Moro, bahwa kesempatan hidup di peperangan itu hanya 40 persen, sedangkan 60 persennya adalah mati. Katanya, aku akan mati terhormat sebagai syuhada, sebagai tokoh jihad fisabilillah, yang rela mati mati di jalan Allah membela minoritas Islam yang teraniaya di Filipina selatan. " Selamat jalan saudaraku, jaga diri baik - baik dan kami senantiasa berdoa agar keselamatanmu terjaga hingga mampu kembali dengan baik! " bisik Ferdian sambil memeluku dengan hangat.
Sesampainya di perbatasan, subuh dinihari, kapal kami merayap pelan memasuki wilayah perairan Filipina. Kapal masuk ke daerah Pulau Balut dan aku dijemput oleh Ali Imran dan sepuluh kawannya. Dari pulau Balut , nelayan anak buah kapal Ferdian kembali ke perbatasan laut dan mencari ikan di laut Indonesia ujung Pulau Sarangan. Ali Imran menyambutku dengan hangat dan memelukku dengan salam jihad fisabilillah. " Darahmu siap tumpah untuk bangsa Moro, untuk ummat muslim Filipina Selatan. Siap? " desak Ali Imran. Akupun lalu mengikuti salam jihad sambil mengucapkan Allahu Akbar.
Dengan perahu ukuran sedang, kami merayap menyisir daerah hutan pinggiran Mindanau. Didalam perahu aku melihat puluhan pucuk senjata dengan mesiu lengkap dan peta lokasi tempat kami akan bergerilya. Ali Imran memperkenalkna para syuhada yang lain, semuanya warga Filipina Selatan dan hanya aku dan Ali Imran yang berasal dari Indonesia. Siang hari perahu bermesin 60 PK yang dikendarai Ali Imran CS masuk ke Santa Cruz. Kami masuk dari hutan Digos menuju hutan belukar Milang. Didalam hutan milang terlihat banyak rumah - rumah gubuk markas laskar muslim Moro berjumlah ratusan orang. Aku diperkenalkan Ali Imran kepada Minaranv Migayo, komandan senior pasukan tempur hutan Milang. Aku disambut hangat dan melakukan ritual pertukaran darah. Tukar darah disini berarti aku sudah harus siap lahir batin menjadi saudara kandung dan siap mati untuk bangsa Moro. Aku dinobatkan secara adat menjadi tentara gerilyawan dan total menyatakan perang melawan tentara Filipina di Mindanau dan Negros.
DISEBUTKAN OLEH KOMANDAN LASKAR, BAHWA LOKASI MILANG SEJAUH INI AMAN DARI DETEKSI TENTARA NASIONAL. TAPI BUKAN TIDAK MUNGKIN SEWAKTU - WAKTU AKAN MENCIUM KEBERADAAN GERILYAWAN DAN KAMI AKAN DIGEMPUR HABIS - HABISAN.
Keesokan harinya, pagi - pagi sekali aku dilarih halang rintang. Dilatih pula memanjat tebing dan menggunakan senjata berat, bom dan gratan tangan. Selama tiga hari aku dilatih secara total termasuk latihan ilmu beladiri sejenis pencak Mindanau dan aji - aji jimat Bangsa Moro Tua. Tubuhku dimasukan zat tertentu hingga aku menjadi kuat dan garang. Sejak itu tentara negara menjadi targetku untuk membunuh, membantai dan perang total di hutan Milang.
Disebutkan oleh komandan laskar, bahwa lokasi Milang sejauh ini aman dari deteksi tentara Nasional. Tapi bukan tidak mungkin sewaktu - waktu mereka mencium keberadaan gerilyawan dan kami akan digempur habis - habisan. Sebab berapa hari lalu, tiga helikopter tentara berseliweran di atas langit hutan Milang dan nampak ada pemotretan udara yang dilakukan mereka ke lokasi laskar. Kami semua melakukan sholat sunnah dengan doa - doa tertentu untuk kemenangan. Komandan memerintahkan kami memegang senjata dengan mesiu serta peluru secara lengkap. Benar saja, malam harinya sekitar pukul 23.00 waktu Mindanau, ribuan tentara diterjunkan dari pesawat udara ke hutan Milang. Pesawat helikopter yang mengikuti, melakukan penembakan dari udara ke arah markas kami. Komandan memerintahkan kami bersembunyi sambil menembaki tentara terjun payung yang dapat terlihat dalam kegelapan malam. Tapi perang frontal pun tak dapat terhindarkan. Seratus delapan puluh tentara muslim terpencar biar sambil menembaki lawan. Sementara bi, granat berseliweran di antara pohon - pohon rindang.
Aku yang baru saja memegang senjata, langsung menembaki helikopter dan alhamdulillah, heli itu terkena dan seseorang jatuh bersimba darah bebereapa meter di depanku. Namun setelah itu, seorang tentara menembaki aku dan kedua kaki terkenea beberapa hantaman beberapa peluru. Aku terkulai lemas dan dilarikan ke perahu lalu berlayar ke tengah laut. Perahu motor melesat di Selat Dayan lalu menuju ke Pulau Balut. Untunglah helikopter yang berseliweran tidak mengendus keberadaan perahu kami. Alhamdulillah, walau dalam keadaan berdarah - darah, aku sampai di Pulau Balut dan diobati oleh dokter muslim di kampung Kalipagan. Komandan juga selamat dari pelarian dan laskar muslim 20 orang tewas dalam pertempuran itu. Tiga puluh diantaranya di tawan dan di bawa ke Filipina. Sedang tentara nasional yang tewas berjumlah 80 orang dan tidak dipublikasikan. Beberapa saat setelah serangan besar itu, perangpun mereda dan pemimpin besar Noor Misauri melakukan gencata senjata dengan pemerintah.
Atas restu komandan, aku diungsikan ke Pulau Julo. Aku tinggal di keluarga muslim di kota kecil Talipau. Lukaku yang sudah sembuh tapi lumpuh, akhirnya akhirnya di operasi potong kaki lalu digantikan dengan kaki palsu. Kaki asliku membusuk dan aku harus melakukan amputasi. Demi kebaikan ku, jalan itu terpaksa aku tempuh walau sangatlah berat. Sambil memperlancar bahasa Mindanau, aku mengajar mengaji dan baca Al Quran bagi anak - anak remaja di wilayah itu.
DENGAN SEKUAT TENAGA TANPA MENYERAH, AKU BEKERJA DI KARUNGO. FERDIAN SANGAT MEMBANTUKU, BAHKAN KAKEKNYA, SEDIKIT DEMI SEDIKIT MEMASUKAN ILMI SUWANGGIHNYA KEPADAKU. KAMI HIDUP BERSAMA SECARA DAMAI DAN TENTRAM WALAU KAMI BERBEDA AGAMA.
Banyak muridku yang menjadi pintar membaca Al Quran dan pintar mengaji. Bahkan mereka sangat tertarik menyanyikan qasidah berzanji dan berteater islamis. Aku senang sekali hidup diantara mereka dan banyak keluarga muslim di daerah ini yang membantu kehidupanku.
Namun sayang, di tengah kebahagiaanki di Talipau, tiba - tiba aparat pemerintah setempat mengusirku. Aku dihadapkan dengan dua pilihan, mau ditahan sebagai warga negara gelap atau minggat keluar Filipina secara baik - baik menuju perbatasan. Pilihan kedua - dua opsi tersebut sangatlah sulit dan dua - dua nya sangat berat. Namun demi keselamatanku walau berat, aku terpaksa berpisah dengan murid - muridku untuk pulang ke perbatasan antara Filipina dan Indonesia itu adalah laut Mindanau, maka aku memilih kembali ke Sangir Taulud.
Dengan menumpang kapal nelayan Mindanau, aku kembali ke Karungo di sangir Taulud dan ferdian menyambutku dengan gembira. Aku diterima dalam keluarga keristen yang baik budi itu dan aku dibebaskan bahkan didukungnya dalam melakukan ritual agamaku di daerah ini. Walau dengan kaki palsu, aku dapat membantu pekerjaan Ferdian tanpa mengeluh sedikitpun. Aku bekerja keras melawan nasib untuk merajut kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, Islam Moro sudah mulai tenang dan Ali Imran kembali ke tanah Jawa.
Dengan sekuat tenaga tanpa menyerah, aku bekerja dan bekerja di Karungo. Ferdian sangat membantuku, bahkan kakenya sedikit demi sedikit memasukan ilmi Suwanggihnya kepadaku. Kami hidup bersama secara damai dan tentram walau kami berbeda agama. Walau hanya beberapa orang saja yang beragama islam, tiap hari Jumat kami bisa pula melakukan sholat jumat di sebuah mesjid kecil pinggir laut Sangihe. Sedangkan pada hari minggu, aku dengan damai dan nyaman mendengar pemeluk agama Kristen Protestan melakukan nyanyian pujian di gereja - gereja. Aku mendengarkan nyanyian itu sambil bekerja di rumah Ferdian dan Ferdian selalu memfasilitasiku saat beribadah puasa juga lebaran. Kami benar - benar hidup berdampingan secara damai sesama anak bangsa Indonesia walau berbeda - beda keyakinan. Cinta kami adalah ajaran utama agama Ferdian, yaitu mencintai dan mengasihi sesama manusia. Sedangkan dalam agamaku, selain hablumminallah, hubungan vertikal kepada Allah Azza Wajalla, tapi juga ada ajaran hablumminannas, hubungan horizontal sesama manusia. Hubungan horizontal sesama manusia itu artinya hubungan kesetaraan dalam cinta mencitai, kasih mengasihi sesama mahluk Tuhan di muka bumi.
" Rasa saling percaya, tasa saling bertergantungan, rasa saling mencintai dan mengasihi di antara kita adalah perekat hubungan kita paling utama dan aku berharap cinta kita akan abadi! " bisik Ferdian suata hari kepadaku. Akupun berkata begitu dan kami saling berpelukan. " Kita akan terus bersaudara sampai akhir hayat, aku sangat mengasihi keluarga besar Makahanaf dan keluarga Sangir Talaud ini sampai aku mati, sampai ajal menjemputku di suatu hari nanti! " Sorongku.
Alhamdulillah, kini aku hidup layak di Sangit Talaud. Aku sudah menikah dengan wanita muslim asal Gorontalo yang mukim di sini dan sudah punya tiga anak. Hojo Makahanaf, kakek Ferdian yang semakin tua tapi sehat segar bugar, terus memasukan ilmi Suwanggihnya, ilmu terbang yang sangat sulit dan musykik itu. Setiap malam aku dibawanya ke laut Buang untuk praktek terbang labuh. Mulanya dua tiga meter, tetapi lama kelamaan bertambah hingga mampu terbang sepanjang sepuluh meter. Belajar terbang dan mempraktekkan ilmu terbang itu hanya bisa dilakukan di tengah malam dan tidak ada manusia lain yang menonton. Ilmu ini sangat rahasia dan sangatlah tersembunyi.
Kini aku sudah mampu terbang sepanjang 30 meter di tengah laut pada pukul 24.00 tengah malam. Setiap malam aku terus di asah terbang oleh Hojo Makahanaf dan aku terkagum melihat guruku ini terbang tengah malam sampai di Bitung dan Manado. Kini aku punya toko besar di desa Kapinga dan sibuk bersama isteri mengurusi bisnis sembako. Namun setiap malam aku terus belajar dan di isi ilmi Suwanggih oleh guruku Hojo Makahanaf. Aku berharap, bila kelak sudah mampu terbang jauh, aku akan terbang ke kampungku, di Ngasem, Yogyakarta dan menemui kedua orang tuaku yang sudah renta.
Kini aku sudah sangat senang karena kaum muslim Moro sudah tidak diobok - obok lagi dan kehidupan di sana relatif tenang. Untuk itulah, diumur berkepala empat ini, aku berharap untuk hidup tenang dan tentram di Sangir Talaud hingga akhir hayatku. Cuma satu cita - citaku, adalah untuk membangun mesjid besar dan memakmurkan mesjid di Sangir Talaud, di tengah mayoritas umat kristen Protestan yang semuanya berbaik hati kepada minoritas Islam seperti kepadaku dan keluarga besarku. Mudah - mudahan cita - cita ini terwujud dan aku mendapat rejeki untuk itu. Amiin


Posting Komentar